Daftar Isi

DEWI SARTIKA

Dewi Sartika yang lebih akrab dipanggil Uwi lahir dari keluarga Menak di Bandung – Raden Somanagara (Patih Afdeling Mangunreja) dan Raden Ayu Rajapermas – pada 4 Desember 1884. Bersama orang tua dan saudara-saudaranya, Dewi Sartika tinggal di sebuah rumah besar semi permanen yang berhalaman luas di Kepatihan Straat. Di beranda rumah itu, terdapat jambangan-jambangan besar dengan tanaman suflir dan kuping gajah yang tertata rapi. Sementara di halamannya diwarnai dengan berbagai tanaman dan tanaman bunga. Termasuk bunga hanjuang merah yang menjadi ciri khas masyarakat Sunda.

Semasa kecil, Dewi Sartika termasuk seorang bocah yang jauh dari kesusahan dan kesengsaraan hidup. Segala tetek-bengek kebutuhannya selalu dicukupi oleh para abdi dalem yang setia dan patuh. Bahkan pada hari-hari tertentu, Somanagara selalu mengajaknya untuk menyaksikan pacuan kuda di Tegallega dan pagelaran hiburan rakyat. Berkat sikap kukuh dari kedua orang tuanya yang bernyali besar untuk melanggar adat saat itu, Dewi Sartika dapat memperoleh pendidikan di Eerste Klasse School (EKS). Di EKS, Dewi Sartika sang bocah lincah, sigap, berani, dan berpembawaan agak tomboy itu mendapatkan kesempatan untuk belajar bahasa Belanda dan bahasa Inggris.

Dewi Sartika – Bakat sebagai Seorang Pendidik

Semenjak kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan kegigihannya untuk meraih kemajuan sebagai seorang pendidik. Peragaan mengajar yang dilakukan Uwi pada anak-anak perempuan pembantu kepatihan sontak membikin heboh di Cicalengka. Mengingat pada waktu itu, belum banyak anak-anak (terlebih, anak-anak dari kaum jelata) yang memiliki kemampuan baca-tulis berkat didikan dari seorang bocah perempuan.

Dewi Sartika – Berangkat Remaja

Saat menginjak usia remaja, Dewi Sartika kembali ke ibunya di Bandung. Jiwanya yang semakin matang semakin memacu semangatnya untuk mewujudkan cita-citanya. Berkat kegigihannya, cita-cita Dewi Sartika mendapatkan dukungan dari pamannya, Bupati Martanagara untuk mendirikan sekolah wanita. Sekalipun upayanya itu sering berbenturan dengan adat yang cenderung mengekang kaum wanita.

Dewi Sartika – Mendirikan sekolah

Usai berkonsultasi panjang-lebar dengan Bupati Martenagara pada tanggal 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya terdiri Dewi Sartika beserta dua saudara misannya, yakni: Nyi Poerwa dan Ni Oewid. Dengan menggunakan ruang pendapa Kabupaten Bandung, mereka mengajar 20 (dua puluh) siswa angkatan pertamanya.

Pada tahun 1905, Sekolah Istri mampu menambah kelas. Sehingga sekolah itu harus pindah di Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Sebuah lokasi baru yang dibeli oleh Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya serta bantuan dana pribadi Bupati Bandung. Lima tahun kemudian, Dewi Sartika memperbaiki sekolahnya itu sehingga lebih memenuhi syarat kelengkapan sekolah formal. Melalui upaya tersebut, Dewi Sartika telah membuktikan bahwa perempuan memiliki kemampuan yang sama dengan kaum laki-laki.

Memasuki usia ke-sepuluh (1914), nama Sekolah Istri diganti menjadi Sakolah Kautamaan Istri. Kemudian pada saat Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berusia 25 tahun (September 1929), Sakolah Kautaman Istri berubah nama menjadi Sakola Raden Dewi. Atas jasanya dalam bidang pendidikan tersebut, Dewi Sartika mendapatkan anugerah bintang jasa dari pemerintah Hindia-Belanda.

Dewi Sartika – Pernikahan

Kegiatan Dewi Sartika sebagai kepala sekolah cukup menyita waktunya. Sehingga hal itu menimbulkan kekhawatiran ibunya terhadap Dewi Sartika yang telah berusia dewasa itu tak segera punya suami. Semula Dewi Sartika pernah dilamar oleh keluarga Pangeran Djajadiningrat dari Banten untuk salah satu putranya. Namun lamaran itu ditolak oleh Dewi Sartika. Dengan alasan, Dewi Sartika belum mengenal calon suaminya itu.

Suatu hari, Dewi Sartika yang tengah membantu menyediakan hidangan di rumah Bupati itu bersua dengan seorang pria gagah yang menggugah hatinya. Pria itu bernama Raden Kanduruan Agah Suriawinata. Salah seorang guru di Erste Klasse School di Karang Pamulang. Dari pertemuan mereka berlanjut menjadi hubungan yang lebih akrab.

Semula sang ibu keberatan jika Dewi Sartika menikah dengan Raden Agah. Karena menurutnya, Raden Agah tak setara untuk menjadi suaminya. Seorang putri Patih Bandung yang sangat disegani banyak pihak. Meski kecewa atas kekolotan ibunya, Dewi Sartika tetap nekad untuk menjalin hubungan cintanya dengan Raden Agah. Hingga sesudah mendapatkan persetujuan ibunya, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata (1906).

Dewi Sartika – Wafat

Tepatnya pada 11 September 1947, Dewi Sartika menghembuskan napasnya yang terakhir. Jenazahnya disemayamkan dengan suatu upacara sederhana di pemakaman Cigagadon, Desa Rahayu, Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian, jenazah Dewi Sartika dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar Bandung.

Blog Archive