Daftar Isi

IDEOLOGI PANCASILA

Istilah ideologi dipergunakan dalam arti yang bermacam-macam. Istilah ideologi berasal dari bahasa Yunani: eidoc, dalam bahasa Latin: idea, yang berarti "pengertian", "ide" "gagasan". Kata kerja dalam bahasa Yunani oida = mengetahui, melihat dengan budi. Dalam bahasa Jawa kita jumpai kata idep dengan arti: tahu, melihat. Kata "logi" berasal dari kata bahasa Yunani logos, yang berarti "gagasan, "pengertian", "kata" dan "ilmu". Jadi secara etimologis dapat diterangkan: ideologi berarti "pengetahuan tentang ide-ide", science of ideas.

Pengertian ideologi pada abad XVIII

Yang pertama-tama mempergunakan istilah ideologi adalah seorang filsuf Perancis, Destutt de Tracy, pada tahun 1796. Destutt de Tracy menggunakan kata ideologi untuk menunjuk pada suatu bidang ilmu yang otonom, ialah analisis ilmiah dari berpikir manusia, otonom dalam arti lepas dari metafisika tetapi juga lepas dari psikologi. Sejak saat itu ideologi menjadi istilah yang paling sering dipergunakan dalam filsafat sosial dan filsafat politik.

Pada zaman Napoleon istilah ideologi mendapat konotasi yang kurang baik, sebab Napoleon menggunakan kata ideologue untuk mencaci maki dan menghina para pembantunya, yang dinilainya sebagai manusia-manusia yang berkhayal, yang tidak memperhatikan realitas lingkungan. Maka ideologi kemudian berarti 'kumpulan ide-ide dan pendapat-pendapat yang abstrak, yang tidak realistic'. Kebalikannya adalah pragmatisme dan realisme.

Pengertian ideologi menurut Marx: Ideologi sebagai Keterasingan

Yang sangat besar pengaruhnya dalam perkembangan pengertian ideologi, adalah Karl Marx. K. Marx dan aliran Marxis menggunakan kata ideologi dalam anti khusus, dalam anti peyoratif Menurut Marx dan golongan Marxis ideologi itu bersama agama, filsafat dan moral termasuk suprastruktur, sedangkan relasi-relasi ekonomi termasuk infrastrukturnya. Lambat laun ideologi mendapat arti "sistem ide-ide suatu establishment" atau 'dari suatu organisasi untuk mempertahankan status quo-nya'. Ideologi pada dasarnya oleh mereka dianggap tertutup, tidak objektif, tidak ilmiah, melekat pada suatu struktur, suatu kekuatan tertentu. Sebagai contoh umpamanya fasisme, sosialisme nasional Hitler. Menurut Karl Marx dan golongan Marxis hanya Marxismelah yang merupakan satu-satunya filsafat, yang melukiskan hidup dan realitas ini dengan benar, yang dianut karena memang sesuai dengan realitas.

Tentang para ideolog Jerman, khususnya kelompok Hegelian muda, Karl Marx menulis: "Sie vergessen nur, dasz sie die wirklich bestehende Welt keineswegs bekampfen, wenn sie nur die Phrasen dieser Welt bekempfen" (K. Marx dan Fr. Engels: Die Deutsche Ideologie, Ditz Verlag, Berlin 1957). K. Marx dan para pengikutnya menyatakan bahwa ideologi tidak objektif, suatu kebohongan. Kita bertanya: "Kalau ideologi tidak objektif, dan suatu kebohongan, mengapa ideologi itu dianut dan didukung?" Jawaban Karl Marx dan para pengikutnya: Ideologi dianut karena menguntungkan, misalnya karena vested interest. Ingatlah saja umpamanya mitos: mitos dikarang untuk mempertahankan posisi golongan bangsawan, sampai orang berani menyatakan bahwa asal-usul rajanya adalah dari kedewaan.

Menurut pandangan golongan Marxis, banyak ideologi berasal dari golongan kapitalis dan untuk membela kepentingan kapitalisme. Dengan demikian jelaslah bahwa golongan Marxis menggunakan istilah ideologi hanya dalam arti peyoratif, dalam arti buruk. Tetapi kenyataan menunjukkan tidak ada alasan sedikit pun untuk memberi arti yang demikian itu. Sebaliknya juga tidak tepatlah apabila istilah ideologi hanya dianggap mempunyai arti baik saja. Pendirian itu barangkali ada di antara kita sendiri. Akan tetapi sejarah membuktikan adanya ideologi yang , jahat, seperti fasisme, naziisme dan komunisme sendiri. Jadi ukuran baik buruknya, benar salahnya tergantung pada isinya. Yang perlu kita perhatikan ialah dikemukakannya bahwa orang menganut ideologi karena kepentingan. Bahkan menurut golongan Marxis semata-mata karena kepentingan.

Kita menganut dan mempertahankan ideologi Pancasila bukan hanya karena kepentingan, melainkan karena kita mempunyai keyakinan bahwa Pancasila itu benar. Segi kebenaran dalam soal ideologi memang tidak begitu disadari. Dalam praktek, orang menganut dan mendukung ideologi karena memandang ideologi itu sebagai cita-cita, ideologi merumuskan cita-cita hidup. Di sini perlu ditegaskan apa sesungguhnya hakikat ideologi itu. Kalau disisihkan dahulu masalah benar tidaknya suatu pandangan yang dijadikan ideologi, maka ideologi kiranya dapat dirumuskan sebagai: seperangkat ide asasi tentang manusia dan seluruh realitas, yang dijadikan pedoman dan cita-cita hidup. Perumusan tersebut berdasarkan fakta sejarah.

Dalam sejarah kita menyaksikan bahwa ideologi seringkali dianut karena manfaatnya. Akan tetapi orang menganut dan mendukung suatu ideologi pada dasarnya juga karena keyakinan bahwa ideologi itu benar. Ide-ide atau pengertian-pengertian itu merupakan suatu sistem, suatu perangkat yang menjadi suatu kesatuan, menjadi ideologi mengenai manusia dan seluruh realitas. Setiap idelogi dalam intinya pasti mempunyai suatu citra manusia tertentu. Dengan kata lain, setiap ideologi pasti mempunyai suatu citra atau gambaran: manusia itu apa, dan bagaimana relasi-relasinya dengan alam semesta, dengan sesama manusia dan dengan Penciptanya. Dikatakan: mengenai manusia dan seluruh realitas, mengandung arti bahwa manusia itu mempunyai posisi tertentu, mempunyai kedudukan, berarti mempunyai hubungan atau relasi.

Sesuai dengan watak hubungan-hubungan yang diakui, suatu ideologi itu bersifat hanya diesseitig atau diesseitig serta jenseitig. Sebagai contoh, komunisme adalah ideologi yang hanya bersifat "diesseitig", karena hanya mengenai hidup di dunia ini, tidak mengenal Tuhan dan tidak mengenai kehidupan kelak. Pancasila pdalah ideologi yang bersifat "diesseitig" maupun "jenseitig". Pancasila adalah "diesseitig" karena mengenai kehidupan di dunia ini, tetapi sekaligus juga "jenseitig", mengakui adanya Tuhan.

Dalam rumusan itu dikatakan bahwa ideologi merupakan seperangkat ide asasi = maksudnya bukan sembarang ide atau pengertian melainkan ide pokok, yang fundamental, yang mendasar, yang menyangkut hakikat manusia. Dalam rumusan diatas kita akui, bahwa ideologi itu bukan hanya suatu pengertian (ein Wissen) saja. Ideologi merupakan prinsip dinamika; sebab menjadi pedoman dan cita-cita hidup.

Peranan ideologi

Setelah melihat apa yang dimaksud dengan ideologi kini tiba saatnya kita meninjau fungsi atau peranan ideologi. Dalam konteks ini menarik sekali karya seorang filsuf Perancis terkenal, ialah Prof. Dr. Paul Ricoeur, berjudul Ideologie and Ideologiekritiek. Menurut Paul Ricoeur, begitu juga Jacques Ellul:
  • Suatu kelompok sosial, suatu masyarakat, suatu organisasi, suatu bangsa pada umumnya mempunyai kebutuhan untuk memiliki citra jati dirinya. Historisitas kelompok itu perlu dirumuskan. Saat mulai berdirinya kelompok itu atau Grundungsakt mereka merupakan unsur yang amat penting. Maka "Grundungsakt" itu dihayati bukan hanya sebagai suatu tonggak sejarah saja, melainkan juga sebagai suatu momentum yang menentukan identitas setiap anggota yang menganggap dirinya sebagai bagian dari kesatuan yang berlandaskan ideologi itu. Maka ada kebutuhan untuk menghayati kembali saat yang merupakan "Grundungsakt" itu dengan mengadakan upacara-upacara tertentu. Ideologi melekat pada "Grundungsakt" tersebut.
  • Karena para pendiri atau Founding Fathers lambat laun meninggalkan panggung kehidupan kemasyarakatan, maka timbul bahaya akan adanya jarak antara "Grundungsakt" dan Generasi Muda. Maka fungsi ideologi adalah menjembatani jarak itu.
  • Ideologi mempunyai fungsi penting, yaitu menanamkan keyakinan akan kebenaran perjuangan kelompok atau kesatuan yang berpegang teguh pada ideologi itu. Maka ideologi menjadi sumber inspirasi dan sumber cita-cita hidup bagi para warganya, khususnya para warganya yang masih muda. Ideologi berupa pedoman artinya menjadi pola dan norma hidup. Tetapi sekaligus menjadi ideal atau cita-cita. Realisasi dari ide-ide dipandang sebagai kebesaran, kemuliaan manusia. Dengan melaksanakan ideologi, manusia tidak hanya sekedar ingin melakukan apa yang disadari sebagai kewajiban. Dengan ideologi, manusia mengejar keluhuran. Oleh karena itu, manusia sanggup mengorbankan harta benda, bahkan hidupnya demi ideologi. Karena ideologi menjadi pola, norma hidup dan dikejar pelaksanaannya sebagai cita-cita, maka tidak mengherankanlah jika ideologi menjadi Lebensgestaltung, menjadi levensnorm, menjadi bentuk hidup.
  • Ideologi berfungsi sebagai suatu code, suatu rangkuman karya dan pendapat para pendiri, yang menguasai seluruh kegiatan sosial. Di sini ada bahayanya, ialah orang menjadi cenderung berpandangan sempit; orang menjadi berpendirian bahwa ideologinya yang paling benar. Orang terjebak dalam keadaan yang disebut verstarring (keadaan membeku). Orang menganggap mereka yang menganut ideologinya dan berperilaku menurut ideologinya sebagai kawan, sedangkan orang-orang lain yang tidak menganut ideologinya dianggap sebagai lawan. Ideologi menjadi tertutup. Dengan demikian, ideologi menimbulkan friksi dan polarisasi dalam kehidupan masyarakat.

Ideologi dan Pancasila

Kita sudah melihat bahwa ideologi menjadi pola dan norma hidup. Orang-orang yang menganut suatu ideologi berusaha untuk benar-benar mempraktekkan dan melaksanakan ideologi itu sebagai cita-cita hidup mereka. Ideologi lalu menjadi apa yang disebut oleh Karl Jaspers Lebensgestaltung. Jika ideologi dapat menjadi Lebensgestaltung, suatu bentuk hidup, maka dapat dikatakan bahwa relasi antara ideologi dan Lebensgestaltung itu amat erat. Untuk menjelaskan hal ini dapat ditempuh bermacam-macam jalan atau metode. Di sini kami akan menempuh jalan dengan menunjukkan bahwa manusia itu selalu mencari makna. Akan kami tunjukkan bahwa manusia itu dalam kompleks kehidupannya menangkap ide-ide pokok dan bahwa ide-ide pokok itu dapat dieksplisitkan dan dipandang dalam kesatuan. Dengan ini barangkali kita akan dapat melihat bahwa ada ideologi yang dapat dan mungkin bahkan harus diterima, karena merumuskan prinsip-prinsip hidup kita yang hakiki. Dan sebaliknya ada juga ideologi yang tidak dapat kita terima. Dengan kata lain, di sini akan dicoba untuk menunjukkan lahirnya ideologi dari hukum existence atau eksistensi insani; dari eksistensi kita dapat muncul ideologi yang autentik, yang merumuskan hakikat dan ujuan eksistensi kita sendiri. Dengan jalan ini kita dapat memperoleh norma untuk menilai bermacam-macam ideologi.

Di muka sudah dikemukakan bahwa manusia itu senantiasa mencari makna. Yang dimaksud dengan makna di sini bukanlah makna hidup dalam arti mengabdi Tuhan atau berbakti kepada masyarakat. Dengan istilah "makna" (dalam bahasa asing mening, zin, meaning, sens, Sinn) adalah suatu faset yang senantiasa ada dalam perbuatan manusia. Istilah makna dapat diganti dengan kata "arti". Kalau seseorang melakukan suatu perbuatan, maka perbuatan itu mempunyai suatu makna. Kalau kita berbuat sesuatu, maka pasti ada cara tertentu dalam perbuatan kita. Orang berjalan umpamanya, caranya akan berbeda bila mengejar bis kota, dengan menuju ke pelaminan sebagai mempelai. Setiap perbuatan yang sadar pasti mempunyai cara tertentu. Umpamanya membuat meja, berarti bekerja dengan cara tertentu sehingga kayu sebagai bahan dibentuk sedemikian rupa sampai mempunyai arti tertentu, yaitu menjadi meja. Dengan melakukan perbuatan, manusia mencari arti. Maka jelaslah bahwa arti atau makna itu bukan sesuatu yang terletak di suatu tempat. Makna atau arti itu dibuat.

Manusia mengolah (colere dalam bhs. Latin) alam. Dengan mengolah alam, manusia membuat arti. Mengenai objeknya ada kemungkinan (potensial) untuk mendapat arti: kayu ada kemungkinan untuk menjadi meja atau kursi, terigu tidak. Arti barulah benar-benar ada, dengan perbuatan manusia. Sebelumnya arti barang hanyalah potensial. Bola umpamanya, baru berupa alat permainan dan olah raga kalau sedang dipergunakan untuk main sepak bola atau bola basket. Bola yang masih di toko belum menunjukkan alat permainan atau olah raga, sebab dapat juga digunakan untuk hiasan dinding. Meski pun sudah dikerjakan oleh manusia, sudah dijuruskan, namun barn hilanglah ambiguity itu apabila digunakan oleh manusia.

Dalam perbuatan manusia konkret, materi atau bahan dan perbuatan menjadi kesatuan dan mempunyai arti tertentu. Kalau ada sesama manusia terlibat, maka sesama manusia itu tidak boleh dijadikan objek. Kalau sampai terjadi hal itu, maka terjadi perkosaan perikemanusiaan. Manusia tidak boleh mengobjekkan sesama manusia. Kalau perbuatan manusia itu menyangkut sesama manusia maka dapat juga mempunyai makna atau arti, apabila perbuatan itu penuh hormat terhadap sesama sebagai makhluk pribadi, apabila perbuatan itu menjunjung tinggi martabat sesama manusia. Dengan kata lain perbuatan kita tidak boleh bersifat destruktif, melainkah harus bersifat konstruktif. Maksudnya ialah kita harus mempertahankan dan memperkembangkan kedudukan sesama kita seliagai pribadi yang selalu terpanggil untuk memperkembangkan diri menjadi kepribadian atau manusia yang utuh. Exploitation de l'hom me par l'homme itu jahat, bertentangan dengan perikemanusiaan.

Maka dapat disimpulkan bahwa zin, sens, meaning artinya berguna untuk mempertahankan dan menyempurnakan human existence atau eksistensi manusia sebagai pribadi. Nasi dengan lauk pauknya yang kita makan mempunyai arti karena berguna untuk menambah kekuatan dalam tubuh kita supaya dapat melakukan tugas. Begitu pula buku yang kita baca; atau musik indah yang kita dengar dan nikmati. Kecuali itu, kesimpulan yang dapat ditarik di sini ialah bahwa kita dalam mengkonstruir zin atau arti tunduk pada pelbagai norma, walaupun kita kadang-kadang tidak menyadarinya.

Berdasarkan uraian di atas kami bermaksud menunjukkan munculnya pengertian pokok mengenai manusia dan realitas. Yang perlu mendapat perhatian ialah bahwa manusia bertindak dan berbuat berdasarkan pengertian, sekalipun dalam pengertian itu tidak semua unsur dari perbuatannya disadari sepenuhnya. Manusia berbuat terhadap dunia dengan isinya. Ini berarti manusia mengerti dunia ini. Dalam pengertian itu terkandung norma antara manusia dan dunia ini. Manusia dapat mengambil bermacam-macam ide atau pengertian tentang dirinya sendiri. Lazimnya dalam hal ini manusia terpengaruh oleh tradisi yang ada. Umpamanya karena mendapat pengaruh dari agamanya, ia melihat manusia sebagai makhluk yang tinggi derajatnya sehingga ia mampu dengan jiwanya mengolah alam ini. Manusia dilihatnya sebagai makhluk yang transendental. Tetapi ada orang yang karena pengaruh aliran materialisme melihat manusia itu hanya sebagai makhluk jasmani, yang pada dasarnya sama dengan materi. Dengan demikian kita dapat melihat bahwa manusia secara implisit menerima bermacam-macam pengertian, norma, dan pola yang mengatur perbuatannya.

Apabila manusia berpikir tentang kelakuan dan perbuatannya, tentang hidupnya, maka ia dapat mengeksplisitkan bermacam-macam pengertian atau ide yang terpendam. Kalau ia berpikir tentang perbuatan yang menyangkut sesamanya, maka secara eksplisit merumuskan norma keadilan, dengan melihat dasar bahwa sesamanya itu benar-benar sama. Maka hidup itu adalah hidup bersama, adalah "ko-eksistensi", dalam arti saling menyempurnakan, saling membangun, jadi hidup gotong royong. Jadi, dalam mengolah dan mengerjakan dunia, ia harus bersama-sama dan dalam hidup dan bekerja sama, manusia itu harus mengolah dunia. Apabila dengan uraian di atas kita melihat kemungkinan timbulnya ideologi sebagai seperangkat ide pokok tentang manusia dan seluruh realitas, maka kini dapat kita pertanyakan: Pastikah ideologi itu lahir? Sebab kenyataannya adalah demikian: kita melihat manusia dengan perbuatan-perbuatannya. Dalam kenyataan itu secara tersirat terkandung ide-ide yang mendasar tentang manusia dan realitas ini. Manusia melakukan perbuatan tanpa berpikir tentang ide-ide itu. Tetapi manusia dapat berpikir tentang perbuatannya. Yang menjadi masalah adalah: pastikah manusia itu berpikir sedemikian rupa, sehingga timbullah ideologi? Untuk mencoba menjawab pertanyaan ini janganlah kita lupa bahwa setiap orang yang normal, termasuk yang primitif pun, memahami norma-norma dan pola-pola hidup yang dijadikan pedomannya. Mereka yang tidak mengindahkan norma-norma hidup disebut orang yang abnormal, yang asosial.

Hidup manusia pada umumnya bersifat teratur dan normal. Itu berarti bahwa hidup manusia pada umumnya dilandasi oleh pengertian pokok mengenai manusia dan realitas ini. Tetapi pengertian atau ide dalam kesadaran manusia dikenal secara implisit. Dengan kata lain ide-ide itu dalam keadaan prarefleksif. Ada sementara orang yang dengan mengadakan refleksi, dengan mengadakan permenungan mengekplisitir ide-ide itu. Oleh mereka, ide-ide itu diangkat dan dirumuskan menjadi IDEOLOGI. Ide-ide itu seakan-akan lahir kembali dalam diri mereka yang menerimanya, yang menganutnya. Para penerimanya itu merasa seakan-akan ide-ide itu lahir dari diri mereka sendiri. Mengapa? Karena ide-ide itu merumuskan apa yang mereka rasakan, mereka inginkan; merumuskan apa yang hidup dalam hati dan fikiran mereka yang menerima ideologi itu.

Maka yang amat penting dalam pemberian mata pelajaran atau mata kuliah tentang ideologi Pancasila, harus diusahakan supaya para siswa, mahasiswa, dan petatar dapat menemukan diri mereka dalam ideologi Pancasila. Maksudnya ialah supaya mereka menyadari dan merasakan bahwa ide-ide dan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan P-4 merumuskan apa yang terasa, apa yang hidup pada diri mereka sendiri.

Mungkin timbul pertanyaan: Mengapa dapat timbul dua macam ideologi yang saling berlawanan dalam satu zaman, padahal dikatakan bahwa idelogi itu merumuskan gagasan-gagasan yang implisit dan laten ada dalam suatu zaman. Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu membuat perbedaan antara yang ada pada kenyataan dalam suatu zaman dan apa yang seharusnya. Umpamanya dalam suatu negara situasinya menyedihkan bagi kaum buruh dan petani, yang menjadi korban pemerasan dan penindasan oleh yang berkuasa. Maka ideologi yang tumbuh dapat merupakan ekplisitasi gagasan orang-orang yang berkuasa, yang menindas, dan memeras. Ideologi yang menentang adalah eksplisitasi dari gagasan yang secara laten hidup dalam jiwa orang-orang yang ditindas, yang menjadi korban zaman. Maka ideologi yang pertama adalah himpunan gagasan atau ide kelompok yang berkepentingan atau golongan vested interest. Sebaliknya, ide-ide yang menentang tatanan yang lama diciptakan oleh orang-orang menginginkan perubahan dan keadilan. Kalau keadaan yang lama anti perikemanusiaan, maka tatanan baru yang dicita-citakan berdasarkan ide yang memperjuangkan terwujudnya perikemanusiaan dan keadilan. Oleh karena itu, ideologi yang memperjuangkan perikemanusiaan belum merumuskan realitas yang ada (atau ada sepenuhnya).

Ideologi tatanan baru merupakan cetusan keadaan yang ideal, jadi lebih merumuskan realitas yang masih harus diwujudkan. Oleh karena itu, ideologi tatanan baru merupakan ideologi perjuangan. Maka akan mudah mengalami bahaya, orang dapat Iupa akan kekurangan-kekurangan, akan adanya pandangan yang sempit, yang beranggapan bahwa pendirian niereka itulah yang paling benar.

Sekarang mengenai ideologi Pancasila. Pada tahun 1945 ketika tanah air kita dijajah oleh Jepang, ada sekelompok pemimpin hangsa kita yang bermenung tentang ide-ide yang hidup terpendam dalam masyarakat Indonesia. Berabad-abad lamanya bangsa Indonesia hidup ditindas oleh imperialisme dan kolonialisme. Semula imperialisme dan kolonialisme Barat dan sejak Maret 1942 oleh Jepang.

Ide-ide, gagasan-gagasan pokok yang ketika itu hidup, diangkat dan dirumuskan oleh Soekarno, dan kawankawannya menjadi ideologi Pancasila. Ideologi Pancasila dipergunakan sebagai ujung tombak perjuangan bangsa. Ideologi Pancasila merupakan semangat untuk mewujudkan ide-ide keadilan. Ideologi Pancasila menggerakkan dan mendorong negara serta rakyat Indonesia ke arah pengakuan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ideologi Pancasila menuntut supaya manusia diakui dan dihargai menurut martabatnya, baik sebagai pribadi maupun sebagai makhluk sosial. Ideologi Pancasila menanamkan rasa nasionalisme, rasa kebangsaan, kepada seluruh rakyat Indonesia, sehingga kita dituntut untuk memiliki rasa persaudaraan yang kuat diantara seluruh rakyat Indonesia. Tidak hanya itu, ideologi Pancasila juga meletakkan pondasi perjuangan seluruh bangsa Indonesia untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan yang merata.

Karena Pancasila sebagai ideologi dan sebagai cita-cita memang sesuai dengan kodrat manusia, maka Pancasila mudah diterima. Tetapi harus kita sadari bahwa untuk mewujudkan cita-cita yang dirumuskan dalam ideologi Pancasila maka dibutuhkan perjuangan dan pengorbanan yang maha hebat dari seluruh rakyat Indonesia. Tanpa sebuah perjuangan, tanpa sebuah pengorbanan, tanpa sebuah pembelaan mustahil suatu ideologi akan menjadi jalan hidup bagi bangsanya.

Blog Archive