Daftar Isi

SEJARAH MATARAM MENYERANG BATAVIA

Tahun 1628 dan 1629 Pasukan Mataram Menyerang dan Mengepung Benteng Batavia. Dalam buku-buku sejarah nasional, pada tahun 1628 dan 1629 disebutkan sebagai tahun-tahun penyerangan pasukan Mataram ke Batavia, atas perintah Sultan Agung. Meskipun penyerangan dua kali itu tidak berhasil mengusir Belanda (VOC) dari tanah Jawa, sekalipun telah di terapkan strategi penyerangan dan penaklukkan kota Surabaya di tahun 1625. Namun manfaatnya ada. juga, yaitu Gubernur Jendral Jan Pietersz Coen (Murjangkung) mati kena disentri akibat pengepungan terhadap Batavia.

Dalam Babat Tanah Jawi (edisi Meinsma Noordhoff, Gravenhag 1941) perang dipimpin oleh para Senapati Kerajaan Mataram antara lain, Mandurareja, Bahureksa dan Sura Agul Agul di bawah koordinator Panembahan Purubaya, yang sangat terkenal kesaktiannya. Sambil mengisap pipa, Panembahan Purubaya terbang memonitor jalannya perternpuran, yang sekali-kali menyerang tembok benteng VOC hingga jebol seukuran tubuh manusia. Sehingga penyerangan di tahun 1628 dan 1629 itu seakan-akan hanya sekali saja, juga tidak dijeiaskan pihak mana yang menang atau kalah. Yang jelas pasukan Mataram mundur teratur karena kelicikan tentara Belanda dalam berperang, setelah mereka kehabisan mesiu, meriam-meriamnya diisi dengan tinja dan ditembakan kearah pasukan Mataram. Dalam Babad Tanah Jawi disebutkan, bahwa pasukan Mataram yang terkena tinja langsung terjun ke sungai membersihkan diri. Pasukan Mataram yang masih hidup sebagian langsung kembali ke Negara Mataram, karena jijik dan najis terkena tinja yang digunakan tentara Belanda. Peristiwa tersebut oleh pasukan Mataram disebut dengan "mambet tai" (bau tai), yang kemudian lahir istilah "mBetawi", jadi bukan herasal dari Batavia.

SEJARAH MATARAM MENYERANG BATAVIA

Yang menarik dari geografi kesejarahan (historical geography) adalah, bahwa penyerangan pada tahun 1628 dan 1629 itu terjadinya sama-sama pada bulan September, yang saat itu musim kemarau. Masuk akal bahwa, sungai Ciliwung mudah dibendung atau airnya clibelokkan kesungai lain. Akibatnya sungai Ciliwung kering, penuh dengan bangkai hewan dan menyebarkan penyakit antara lain disentri, yang menjadi korban di antaranya Jan Pietersz Coen (Murjangkung).

Dalam buku sejarah menyebut digunakannya strategi penaklukan Surabaya, sehagai pengalaman yang berguna. Sebenarnya kurang tepat, karena penguasa di Surabaya menyerah tanpa syarat kepada pasukan Mataram pada Mei 1625. Sebelum musim kemarau datang, pada waktu itu masih mangsa sada (musim hujan) bulan ke 12. Kali Brantas di bentuk tidak di luar kota Surabaya, tetapi di desa Terusan di kawasan Mojokerto di mana sungai mulai bercabang membentuk delta. Semua air dialirkan masuk kali Porong sehingga kali Mas airnya berkurang, namum masih mampu menghanyutkan berbagai bangkai hewan dan buah-buahan aren, yang busukannya dapat menularkan aneka penyakit kulit.

Untuk dapat mencapai Batavia pada bulan Agustus, pertu istirahat dan persiapan menyerbu memerlukan waktu sebulan. Maka pasukan Mataram sudah harus berangkat dari Ibukota Kerta (sebelah Tenggara kota Yogyakarta) pada bulan Mei, untuk mencapai Batavia diperlukan perjalanan 90 hari. Rute yang dipakal adalah menyusuri pantai Utara Jawa Tengah, yaitu Pekalongan, Tegal dan Cirebon, lalu membelok masuk pedalaman Jawa Barat, ialah Sumedang, Cianjur, dan Pakuan (nama Bogor belum ada), lalu turun ke Ciliwung menuju Batavia. Ini sesuai dengan perintah Sultan Agung, “Mandurareja, sira ngulurga maring Batavia, ing mengko wis kancikan marang wong Landa. Negara Jakarta sira rebuta, wong Landa tundhungen teka ing kana!” (Babad Tanah Jawi).

SEJARAH MATARAM MENYERANG BATAVIA

Memang kegiatan penyerangan harus dicocokkan dengan pranatamangsa, yang hal ini memudahkan pihak Belanda untuk siap sedia pada waktunya. Perang hanya. dimungkinkan sehabis panenan padi masuk lumbung (April- Mei), hingga masuk akal apabila di Gebang dan Cirebon didirikan lumbung-lumbung padi, karena dilalui rute perjalanan pasukan Mataram yang akan menyerbu Batavia. Di bakarnya lumbung-lumbung padi oleh Para cecunguk VOC mudah dilakukan, karena di bulan Juni dan Juli adalah musim kemarau dengan angin yang kencang. Musim kemarau ini (mangsa kasa dan karo) juga memudahkan armada kapal yang berasal dari Jepara dan Tegal digerakkan ke Batavia, dikarenakan arus laut dominan ke Barat.

Menurut perhitungan pasukan Mataram, Belanda dapat dikalahkan secepatnya. Namun kenyataannya tidak demikian hingga awal bulan Desember 1629, Belanda belum juga menyerah dan sementara itu mangsa labuh (awal musim penghujan) telah tiba. Dapat dibayangkan bagaimana paniknya prajurit Mataram yang ikut ke Batavia karena milisi, mereka teringat akan sawah-sawah yang menanti tenaga mereka untuk digarap. Merosotnya semangat pasukan Mataram bertambah waktu mendengar bunyi genderang Belanda bertalu-talu, padahal mayat serdadu Belanda sendiri telah banyak berserakan, namun tidak ada yang mau keluar dari benteng pertahanannya. Soal penembakan dengan tinja terhadap pasukan Mataram, menurut Dr. De Graaf itu bukan hal tidak mungkin terjadi karena dalam laporan Valentijn, benteng pertahanan Maagdenburg hingga bertahun-tahun dalam abad 17 disebut kota tai.

Selama musim penghujan (Desember-Februari) Sultan Agung tidak mengadakan perang, karena penduduk harus giat bertani hingga pada masa panen (Maret - Mei). Penerimaan tamu-tamu utusan VOC ke Ibukota Mataram Kerta, juga di laksanakan dalam bulan-bulan makmur itu. Ini dapat di baca dalam laporan dokter De Haan dan Van Zuerck, sebagai tertera dalam De Geschiedenis van Java II tulisan Fruin Mees: "Desa-desa yang kami lewati serba makmur dan pasar-pasar penuh dengan dagangan". Selanjutnya pada bulan Juli - September (mangsa katiga), diisi dengan serbuan-serbuan ke kawasan musuh atau ekspedisi hukuman terhadap bupati-bupati yang berontak. Lalu pada mangsa labuh (Oktober - Desember) selain sawah-sawah digarap dan ditanami, juga di lakukan pemindahan paksa penduduk dari kawasan-kawasan rawan kepemukiman baru misalnya ke Krawang.

Geografi Jawa Tengah pada abad 17 dapat di telusur dari buku Fruin Mees tersebut di atas, misalnya rute perjalanan utusan VOC untuk beraudiensi kepada Sultan Agung di Kraton Kerta. Dari Batavia mereka naik perahu menuju Tegal lewat Cirebon dan dari sana naik kuda ke Timur lewat Sumber, Pemalang, Wiradesa, Pekalongan, Batang, Subah. Lalu, masuk kepedalaman Jawa Tengah, mendaki lereng gunung Pakiswiring, Larangan, Tajem yang kemudian turun menyusuri piriggir Kali Progo lewat Jumo, Pakis, Payaman, Tidar , Sukerwe, Turen, Ariapati, Minggir dan Pingit yang letaknya dua jam perjalanan dari Ibukota Mataram.

Tetapi dalam laporan tahun 1623 pulangnya ke Batavia dokter De Haan melalui rute Tempuran (sebelah Barat Pakis), Pabelan (Barat Laut Muntilan), Menta (sebelah Utara Jumo), Muntung, Turen lain Kendal yang letak gapura Tol tidak di Pingit tetapi di Desa Kaliajer, waktu perjalanannya tiga jam dari Ibukota Mataram. Disamping rute lewat Kedu, ibukota Mataram dapat dicapai dari pesisir Utara lewat rute Tidar, yang dari Jepara atau Demak ke Bringin, Tingkir (Salatiga), Pengging, Taji (dekat Prambanan), Kota Gede langsung Kerta.

Pihak VOC tahu betul, bahwa Batavia tidak akan diserang sekitar bulan Desember dan Januari, di waktu perahu-perahu Mataram dari lautan dapat masuk kepedalaman karena sekitar Batavia kawasannya kebanjiran di musim hujan. Dalam buku Priangan II tulisan De Haan, dekat Batavia ada pelabuhan Sunda Kelapa, yang vegetasinya memang banyak pohon-pohon kelapa. Daerah tersebut merupakan rawa-rawa luas, yang pada setiap musim penghujan tinggi air sampai lutut. Juga wilayah sebelah Timur Batavia, di situ orang dapat keluar masuk hutan dengan naik sampan. Rawa-rawa disekeliling Batavia sudah ada sejak abad pertama Masehi, kawasan yang agak kering adalah disebelah timurnya yaitu, lembah hilir Citarum di mana pada abad ke 4 berdiri kerajaan Tarumanegara.

Pada tahun 1628 dan 1629 ketika Bataviaia diserang oleh Mataram, Kawasan yang kini bernama Jatinegara masih berwujud hutan belukar, tempat bersembunyi para prajurit Mataram. Untuk mencegah serbuan pasukan Mataram berikutnya, VOC mengadakan razia berulang-ulang dan memerintahkan penduduk membabat habis hutan belukar tersebut, De Graaf menyebut tahun-tahun serangan ke Batavia oleh Mataram sebagai puncak kejayaan/ keagungan Kerajaan Mataram.

Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Susuhunan Amangkurat Senapati Ing Ngalaga Ngabdulrahman Sayidin Panatadinan (Amangkurat Agung), menjadi raja di Plered Mataram ketika tahun 1570 Jawa Windu Sancaya sampai dengan tahun 1602 Jawa, menjabat sebagai raja selama 32 tahun (tahun Masehi 1645 - 1677). Terkenal dengan nama Ingkang Sinuwun Amangkurat yang dimakamkan di Tegal Arum.

Selama dalam pemerintahan beliau Kangjeng Susuhunan Amangkurat I memegang kondisi kerajaan, Kompeni (V.O.C= Vereenigde Oost Indische Compagni) yang berulangkali mengirimkan utusan antara lain Tuan Rijkloff van Goens untuk mengantar upeti kepada Sultan Amangkurat I, Tuan Rijkloff van Goens menulis karangan mengenai permasalahan:
  • Keadaan keraton di Palered Mataram serta keadaan kota kerajaannya, tertulis di tahun 1655
  • Keadaan pulau Jawa tertulis di kota Amsterdam tanggal 25 Maret 1656.
  • Kepergian dari Semarang ke Mataram, tertulis di kota Amsterdam pada tanggal 25 Apri11656.
Sultan Amangkurat I/Agung adalah putra Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, yang ke 10 dari istri Prameswari Kangjeng Ratu Kencana berasal dari Kadipaten Batang (Tegal), atau Kangjeng Ratu Wetan putri Raden Rangga Wangsa Adibrata (Adipraja) II putra menantu Mandurareja I. Pusat Pemerintahan Mataram di bawah kekuasaan Sultan Amangkurat Agung, dipindah dari Kraton Kerta ke Kraton Plered yang di bangun di masa pemerintahan Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, bekas Kraton Kerta hanya dipergunakan sebagai pesanggrahan. Meskipun di Kraton Plered yang baru, Sultan Amangkurat Agung masih juga aktif bersembayang ke Masjid Ngeksigondo, dengan di kawal oleh para punggawa-punggawa Kraton yang begitu banyak, sehingga pengawalan para prajurit itu seakan-akan Kangjeng Sultan Amangkurat naik burung Garuda dari Kraton menuju ke Masjid hanya sekejap mata saja.

Setelah bertahta agak lama, beliau hanya mementingkan kenikmatan keduniawian, dengan memelihara selir banyak bahkan menyimpan gadis kecil yang dititipkan kepada Tumenggung Wirareja, agar nantinya setelah menginiak dewasa akan dijadikan selir. Gadis ini bernama Rara Hoyi, gadis pingitan dari Surabaya yang di bawa Pangeran Pekik Adipati Surabaya. Pada suatu hari Pangeran Adipati Anom (Pangeran Tejaningrat) berkunjung kerumah Tumenggung Wirareja, dengan tidak terduga di Katemanggungan ada seorang gadis yang sedang membatik kain. Sang Pangeran merasa terpikat hatinya, demi melihat gadis yang cantik molek yang tumbuh di sebuah tamansari Katemenggungan Wirarejan. Begitu pula Rara Hoyi setelah bertemu pandangan matanya terasa berdebar-debar jantung hatinya, dan segera lari masuk Pendapa Katemenggungan. Sambil duduk termangu-mangu Sang Pangeran menunggu kehadiran si cantik jelita, namun tidak mungkin keluar karena malu.

Ki Tumenggung Wirareja keluar menghadap Sang Pangeran dengan sembahnva, sambil unjuk atur: "Pangeran, anak gadis yang Paduka cari itu sebenarnya putri piningit dari Surabaya, yang akan menjadi istri selir ayahanda Sultan Amangkurat Agung". Setelah Sang Pangeran mendengar keterangan dari Ki Tumenggung Wirareja, segera pamit kembali ke Kasatriyan. Di Kasatriyan Sang Pangeran tidak dapat tidur dan selalu terbayang-bayang wajah gadis itu, yang selalu menggoda dipelupuk matanya, akhirnya Sang Pangeran jatuh sakit. Hal itu terdengar oleh Kangjeng Ratu Wandansari istri Pangeran Pekik, bahwa Sang Pangeran jatuh sakit wuyung kasmaran dengan Rara Hoyi, sengkeran Sang Sultan Amangkurat Agung. Atas persetujuan Pangeran Pekik, Rara Hoyi di bawa masuk ke Kraton dan di tempatkan di Kasatriyan untuk mengobati penyakit Sang Pangeran, Pangeran Pekiklah yang bertanggung jawab apabila sang ayah marah. Menurut pendapatnya semestinya sang ayah mau mengalah dengan anaknya, "Ora ana macan arep tegel mangan gogore". Dugaan itu ternyata meleset, setelah Sang Sultan mendengar kalau Rara Hoyi jatuh cinta kepada Sang Pangeran, malah mendapat dukungan Pangeran Pekik, beliau geram dan murka.

Pangeran Pekik, Kangjeng Ratu Wandansari, Pangeran Tejaningrat, begitu pula Tumenggung Wirareja dan Nyi Tumenggung dipanggil menghadap Sultan Amangkurat Agung. Dalam pasewakan yang luar biasa Sang Sultan marah-marah, dan menjatuhkan hukuman mati kepada Pangeran Pekik dan Tumenggung Wirareja berdua, yang jenasahnya dimakamkan di Banyu Sumurup. Adapun Pangeran Tejaningrat harus membunuh Rara Hoyi dari tangannya sendiri, dengan membawa keris terhunus meninggalkan paseban menuju Kasatriyan, namun sesampai di Kasatriyan tidak tega akan menusuk Rara Hoyi. Tetapi Rara Hoyi tanggap, bahwa yang menyebabkan onar di dalam Kraton Mataram adalah dirinya, maka setelah melihat Sang Pangeran membawa keris terhunus, ditancapkanlah keris itu hingga tembus sampai ke punggungnya sehingga Rara Hoyi meninggal seketika itu juga. Geram Sang Sultan Amangkurat Agung belum mereda dan memerintahkan, agar Kasatriyan di bakar habis-habisan sedangkan Pangeran Tejaningrat diasingkan ke Hutan Larangan. Di hutan larangan Pangeran Tejaningrat kedatangan Panembahan Purubaya Banteng Wulung Mataram, mengajak Trunajaya anak kemenakannya Adipati Cakraningrat dari Sampang Madura.

Maksud kedatangannya mengajak berunding, agar Pangeran Tejaningrat mau merebut kekuasaannya Sang Ayah Sultan Amangkurat Agung, karena beliau telah bertindak sewenang-wenang terhadap anaknya sendiri serta para kawulanya. Pangeran Tejaningrat menerima bujukan itu dengan janji: Apabila Trunajaya dapat menundukkan Sultan Amangkurat Agung, akan diangkat menjadi Patih di kelak kemudian setelah Pangeran Tejaningrat atau Pangeran Adipati Anom naik Takhta Kerajaan. Dengan kekuatan prajurit yang luar biasa, Trunajaya menyerbu Kraton Plered dengan di Bantu oleh orang-orang Makasar, yang dipimpin Kraeng Galengsong, Kraeng Naba dan lain-lainnya dan memporak-porandakan keadaan dalam Kraton. Pangeran Tejaningrat secara diam-diam menyusup ke Kraton, mengajak Sang Ayah Sultan Amangkurat Agung, agar meninggalkan Kraton mengungsi ke Barat untuk menyelamatkan diri. Trunajaya dapat menduduki Kraton Plered dan mengangkat dirinya sebagai Panembahan maduretno, semua isi Kraton disita dan bagi-bagikan kepada para prajuritnya serta istri Sultan Amangkurat Agung, Kangjeng Ratu Kencana (Kangjeng Ratu Klenting Kuning) di boyong ke Kediri.

Di tempat pengungsiannya Ajibarang, Sultan Amangkurat Agung memerintahkan kepada anaknya Pangeran Tejaningrat, agar mau merebut kembali Kraton Plered, akan tetapi Sang Pangeran tidak sanggup melawan Trunajaya. Di dalam hatinya Pangeran Tejaningrat telah berjanji, kalau Trunajaya telah dapat menduduki Kraton tentu akan menyerahkan kedudukannya itu kepadanya, tetapi Trunajaya melanggar janji dalam pribahasa disebut Ngemut gula krasa legi, eman yen nganti di lepeh. Setelah Sri Sultan Amangkurat Agung memerintahkan anaknya tidak mau, lalu mengeluarkan Prasapta bahwa: Semua keturunan Raja di larang mengadakan ziarah ke leluhurnya.

Di Bantu oleh Adipati Mertalaya di Tegal, prajurit Mataram mengejar prajurit Trunajaya ke Kediri, yang selanjutnya Sultan Amangkurat Agung meminta bantuan VOC untuk menangkap Trunajaya ke daerah Kediri. Sultan Amangkurat Agung sesampainya di desa Pasiraman menemui ajalnya dan dimakamkan di Tegalarum Tegal, sedangkan Pangeran Adipati Anom memakai selempang Oranye Nasau dari Belanda, diangkat sebagai Admiral dan mendapat sebutan Sultan Amangkurat Amral. Kraton Plered telah rusak dan tidak pantas lagi di tempati oleh seorang Raja, maka Kraton dipindahkan ke Kartasura artinya Karta = ramai dan sura = pemberani.

Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Susuhunan Amangkurat II Senapati Ing Ngalaga Sayidin Panatadinan (Amanakurat Amral) menjadi raja di Plered Mataram ketika tahun 1602 sampai tahun 1605 Jawa/tahun Masehi 1677 - 1680, selanjutnya Kraton dipindah ke Kartasura pada tahun 1605 Jawa/ tahun Masehi 1680, lama bertakhta 26 tahun sejak tahun 1602 sampai dengan tahun 1628 Jawa/tahun Masehi 1677 - 1703.

Sebelum memilih Kraton baru sebagai pengganti Kraton Plered, yang telah porak poranda oleh serbuan prajurit Trunajaya. Ada tiga lokasi pilihan antara lain; Logender yang terbuka dan cukup air, Tingkir di daerah bagus dan sejuk serta Wanakerta yang menjadi pilihan lokasi untuk Kraton baru, karena datarannya luas dan airnya cukup. Adipati Urawan lah yang memberi keterangan ini kepada Sultan Amangkurat Amral, yang disetujuinya asal Kraton baru itu di bangun menurut pola Konsentrik Kraton Plered.

Selama tujuh bulan Kraton itu di bangun mengikuti pola Konsentrik Kraton Plered, yang Betengnya terbuat dari gundukan tanah yang luas dan tebal disangga papan pelindung di luar dan dalam. Semak berduri mengelilingi bagian depan benteng, parit lebar berair (ja gang) mengelilingi seluruh Kedhaton. Di luar tembok Baluwarti bagian Selatan dan Alun-Alun Utara, semua bangunan belum ada yang berdinding batu bata masih berbilik bambu dan beratap rumbia. Pada tanggal 11 September 1680 Sultan Amangkurat Amral, memasuki Kraton yang baru dan nama Wanakerta diganti menjadi Kartasura Hadiningrat, adapun Kraton Kartasura baru kelihatan megah dan sempurna pada tahun 1682.

Sultan Amanmgkurat II/Amral kembali memakai Mahkota Majapahit, yang terbuat dari emas murni dan bertakhta di Kraton yang baru Kartasura. Pada hari-hari Raya para bangsawan bersembah sujud di hadapan Sri Sultan Amangkurat II, pesta-pesta disemarakkan lagi oleh irama gamelan yang melantun meriah. Alun-Alun yang luas itupun kembali diramaikan dengan para penunggang kuda yang tangkas bermain sodoran (wata-ngan), putri-putri cantik membawakan tarian Serimpi dan Bedaya. Bahkan Raja-Raja Negeri Seberang juga menghormati Raja Mataram, dengan mengirim utusan yang sangat banyak. Mereka tertegun melihat ribuan prajurit Kraton berkumpul dalam waktu seperempat jam saja di Alun-Alun (De Graaf 1989).

Selama 23 tahun Sultan Amangkurat II/Amral menikmati Kraton Kartasura, sambil menghadapi pemberontakan bersenjata antara lain pemberontakan Pangeran Puger adiknya sendiri, yang tidak mau mengakui Sultan Amangkurat II menjadi Raja karena ia merasa yang merebut Kedhaton Plered dari tangan pemberontak.

Kemudian muncul pemberontakan dari sisa pengikut Trunajaya pimpinan Wanakusuma, yang didalangi Panembahan Kajoran lalu pemberontakan Untung Surapati melawan VOC, ikut melibatkan Kraton Kartasura secara tidak langsung.

Blog Archive