Daftar Isi

PETIKAN SURAT-SURAT KARTINI TENTANG KELUARGANYA

Penilaian Kartini terhadap keluarga dan leluhurnya dapat dilihat dari beberapa petikan surat-surat Kartini. Berikut beberapa petikan surat tersebut yang ditulis semenjak tahun 1899 kepada teman-temannya.

Petikan Surat Kartini kepada Estelle Zeehandelaar tanggal 21 Mei 1899

Almarhum kakekku, Pangeran Ario Tjondronegoro dari Demak, seorang pemula semangat kemajuan, adalah Bupati pertarna-tama di Jawa Tengah, yang membuka pintu rumahnya boat tamu dari seberang lautan: peradaban Barat. Semua putra-putranya, yang mendapatkan didikan Barat, menaruh hati cinta pada kemajuan yang diwarisinya dari ayahnya (banyak di antaranya mereka kini telah meninggal dunia), dan pada gilirannya mereka pun berikan pada anak-anaknya didikan yang dahulu mereka terima.

Petikan Surat Kartini kepada Estelle Zeehandelaar tanggal 25 Mei 1899

Waktu aku berumur dua belas tahun" aku pun dipulangkan ke rumah - aku harus masuk ke dalam "kotak"; aku dikurung di dalam rumah dan sama sekali terputus hubungan dengan dunia luar, yang tak boleh kumasuki lagi, kalau tidak di samping seorang suami, seorang pria yang sama sekali tak kukenal, yang dipilihkan orangtua kami tanpa sepengetahuan kami. Sahabatku orang Eropa - sebagaimana kudengar di kemudian hari - telah mencoba berbagai daya untuk mengubah pendirian Ayah agar menarik keputusannya yang kejam terhadapku, si bocah yang ceria itu, tapi sia-sia usaha mereka - orangtuaku tiada dapat diubah dan masuklah aku ke dalam penjaraku. Empat tahun panjang-panjang telah kulewatkan dalam kurungan empat tembok tebal, tanpa melihat dunia luar.

Petikan Surat Kartini kepada Estelle Zeehandelaar tanggal 6 Nopember 1899

Kau tanyakan kepadaku, bagaimana keadaanku di antara empat dinding tebal itu. Kau tentu pikir tentang sebuah sel atau semacamnya. Tidak, Stella, penjaraku adalah sebuah rumah besar, dengan pekarangan luas, tapi sebuah pagar tembok tinggi mengelilinginya, dan pagar itulah yang mengurung aku. Betapa luasnya pekarangan itu, kalau orang harus terus tinggal di situ, menjadi sesak juga rasanya. Aku masih ingat, bagaimana dalam putus-asa yang gelap-gelita itu badanku selalu kulemparkan pada pintu-pintu yang terkunci dan pada tembok dingin. Arah manapun yang kutempuh, akhir dari perjalanan itu selalu saja tembok batu atau pintu terkunci.

Petikan Surat Kartini kepada Estelle Zeehandelaar tanggal 14 Nopember 1899

Semua saja tahu dan mengerti betapa gentingnya keadaan kami, orang pun mengatakan, bahwa Ayah bersalah telah berikan kepadaku pendidikan ini. Tidak! tidak! jangan lemparkan kesalahan itu pada Ayah tercinta! Jangan! sekali lagi jangan! Ayah tak dapat berbuat sesuatu pun, tak dapat meneropong sebelumnya, bahwa pendidikan yang diberikannya kepada semua anaknya, telah mengakibatkan salah seorang daripadanya menjadi demikian rupa. Banyak di antara Para Bupati memberikan atau telah memberikan pendidikan yang sama sebagai kami terima, toh tiada membuat mereka menjadi begini, terkecuali sampai pada kebisaan bicara Belanda dan meniru tata caranya sedikit-sedikit.

Petikan Surat Kartini kepada Estelle Zeehandelaar tanggal 12 Januari 1900

Orang-orang Belanda itu mentertawakan dan mengejek kebodohan kami, tapi kami berusaha maju, kemudian mereka mengambil sikap menantang terhadap kami. Aduhai! Betapa banyaknya duka-cita dahulu semasa masih kanak-kanak di sekolah; Para guru kami dan banyak di antara kawan-kawan sekolah kami mengambil sikap permusuhan terhadap kami. Tapi memang tidak semua guru dan murid membenci kami. Banyak juga yang mengenal kami dan menyayangi kami, sama halnya terhadap murid-murid lain. Kebanyakan guru itu tidak rela memberikan angka tertinggi pada anak Jawa, sekalipun si murid itu berhak menerimanya.

Petikan Surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, Agustus 1900

"Ayo, katakanlah."

Si Jawa itu menggelengkan kepala dan menjawab pendek: "Tak tahu". Tidak, memang ia tidak tahu, tak pernah ia memikirkannya, ia masih sangat mudanya dan tiada mempedulikan sesuatupun. Pertanyaan kawannya gadis kulit putih itu meninggalkan kesan dalam padanya. Pertanyaan itu menyiksanya, tak henti-hentinya ia mendengung pada kupingnya: "kau mau jadi apa kelak?" Ia berpikir dan berpikir. Hari itu ia menjalani banyak hukuman di sekolah, ia begitu kacau, memberikan jawaban-jawaban bodoh kalau ditanyai dan melakukan kesalahan-kesalahan yang paling tolol dalam pelajarannya. Memang tak bisa lain daripada itu, pikirannya tidak pada pelajarannya, tapi masih tetap lekat pada pertanyaan yang didengarnya waktu mengaso.

.....

Yang diperbuatnya pertama-tama, waktu ia datang ke rumah, ialah pergi pada ayahnya dan minta diterangkan tentang pertanyaan itu: "Jadi apakah aku kelak?" Tapi ayahnya tiada menjawab, hanya tertawa serta mencubit pipinya. Tapi ia tak dapat dibodohi begitu saja dan terus merengek minta jawaban. Seorang abangnya datang menghampiri, mendengarkan pertanyaan itu dan kuping gadis kecil itu dengan lahapnya telan kata-katanya: "Jadi apa gadis-gadis kelak? ya, seorang Raden Ayu tentu!" Si bocah itu puaslah dengan jawaban itu dan lari menghilang. Seorang "Raden Ayu" ulangnya berkali-kali dalam hatinya - apakah "Raden Ayu" itu? Pikiran Baru ini tak membiarkan ia tenang, terus juga ia pikirkan dua patah kata itu "Raden Ayu". Kelak ia menjadi seorang Raden Ayu; ia pandang kelilingnya, dan tertataplah mata batinnya pada begitu banyak Raden Ayu yang sudah sejak dahulu menarik perhatiannya dan yang dengan diam-diam dipelajarinya.

Petikan Surat Kartini kepada Estelle Zeehandelaar tanggal 23 Agustus 1900

Kasihan Ayahku tercinta, ia telah begitu banyak menanggung, dan hidup ini masih jua timpakan kekecewaan-kecewaan menyedihkan pula kepadanya. Stella, Ayah tiada mempunyai sesuatu terkecuali anak-anaknya, kami inilah segala-galanya baginya, kegembiraannya, penghiburnya. Aku mencintai kebebasanku, o, dialah segala-galanya yang kumiliki, dan nasib saudari-saudariku sangat meminta perhatianku; aku rela membantu mereka kuat-kuat, dan siap sedia menyerahkan apa pun korban yang dipintanya, agar dapat memperbaiki nasib mereka. Aku pandang menjadi kebahagiaan hidup, bila dapat dan boleh menyerahkan diri seluruhnya buat pekerjaan ini. Namun lebih baik daripada semua itu seluruhnya ialah Ayahku. Stella, katakanlah aku pengecut, goyah, tapi aku tak dapat berbuat lain; kalau Ayah melarang aku berusaha buat itu, betapapun meraung dan merintih hatiku, aku akan terima larangan itu dengan tawakal! Keberanianku tidaklah cukup, untuk makin melukai, dan makin mendarahkan hatinya, hati yang setia itu, yang begitu menyayangi daku. Hatinya itu sudahlah cukup mendarah karena aku, sekalipun sebenarnya aku tiada berdosa sama sekali. Kau bilang, kau tak dapat mengerti, bahwa orang harus kawin. Selamanya kau pertentangkan "harus" itu dengan "aku mau". Kalau hal itu mengenai orang-orang lain, tentulah aku akan berbuat sebagai kau tapi terhadap Ayah tentulah aku tak bakal bisa lakukan, terutama tidak sekarang ini, karena aku tahu, betapa hebatnya aniaya yang dideritanya. Apa yang aku kerjakan, tidaklah aku pandang sebagai sesuatu yang "harus", tetapi sebagai sesuatu yang kulakukan dengan sukarela untuk"nya". Aku mengarang, melukis, dan melakukan semuanya, karena Ayah suka akan hal itu. Aku akan bekerja keras dan berusaha sebaik-baiknya, membuat kebajikan-kebajikan, karena semua itu menyukakan hatinya. Stella, katakanlah aku gila, berlebihan, tapi lain dari itu aku tak bisa. Ayahku begitu cintanya kepadaku! Aku akan sangat berduka-cita, sekiranya Ayah menentang cita-cita kebebasanku, tapi aku akan lebih bersedih hati lagi, pabila hasrat paling menyala itu terpenuhi, tapi dalam pada itu kehilangan cinta Ayahku. Ah tidak, aku tak akan kehilangan cintanya, tapi aku dapat menyebabkan hatinya luka. Dari orang lain mungkin ia dapat menderitakan kekecewaan-kekecewaan itu, tapi kekecewaan dari aku tentulah akan sangat menyiksanya, mungkin karena ia lebih sedikit mencintai aku daripada yang lain-lain. Dan ia begitu aku cintai!

Petikan Surat Kartini kepada Estelle Zeehandelaar tanggal 11 Oktober 1901

Ampunilah anak perempuan yang seorang ini, Stella, kalau sekali waktu, apabila disuguhkan kesempatan baginya untuk memenuhi hasrat hatinya, yang mana kelak ia dapat memberikan berkat pada orang-orang lain, tapi ia menolak kesempatan itu, karena hatinya tiada dapat melepaskan diri dari seorang ayah, yang untuk seumur hidupnya menjadi kekasih dan kebaktiannya; yang mana ia sangat berterimakasih atas segala yang telah dilakukan untuknya; dan yang kini lebih dari yang sudah-sudah, karena kesehatannya yang buruk dan sakit-sakitan dan yang kini lebih dari yang sudah-sudah membutuhkan kebaktian dan cinta anak perempuannya ini. Stella aku ini juga anak, anak perempuan daripadanya, bukan hanya seorang wanita, yang ingin menyerahkan seluruh jiwa dan raganya, kepada garapan indah agung yang memberi guna dan rahmat kepada massa; aku pun seorang anak dengan ikatan-ikatan batin daripada cinta-kasih yang paling lembut serta perasaan syukur yang paling hangat pada seorang ayah yang telah tua dan memutih, tua dan putih disebabkan memelihara anak-anaknya, orang yang barangkali paling aku cintai, karena watak kami berdua dalam begitu banyak hal bersesuaian, kami begitu tunggal di dalam pikiran dan perasaan. Stella, kau yang mengenal cintaku yang agung kepadanya, dan di samping itu cintaku pada apa yang aku pandang sebagai panggilan kita, serta kemesraanku pada saudari-saudariku, tentu dapat memahami, betapa beratnya perjuangan batin (tweestrijd) sekiranya aku harus memilih antara dua: ayahku, perpisahan dengan adik-adikku, melepaskan sebagian terbesar dari karya dutaku ataukah persatuan dengan saudari-saudariku, menyerahkan seluruh kehadiranku pada tugas kita.

Ayah sudah lemah sekarang, membutuhkan penjagaan serta kebaktian yang menetap, maka kewajibanku yang terutama ialah membaktikan diri kepadanya.

Katakanlah itu soal sepele, tapi Stella, tak mungkin aku bisa dapatkan kedamaian barang sejenak pun, kalau aku menurutkan panggilan-panggilan ini dan dalam pada itu berada jauh dari Ayah, serta mengetahui ia menderita dan membutuhkan pertelonganku.

Indah dan mulia tugas yang mernanggil kita untuk berjuang bagi kepentingan agung, bekerja buat kemajuan wanita Pribumi yang tertindas, peningkatan Rakyat Pribumi, pendeknya menjadi berarti bagi Masyarakat, bekerja bagi keabadian; tapi tiadalah aku bisa bertanggung jawab kepada nuraniku, pabila aku serahkan diriku kepada orang-orang lain itu, sementara itu Ayahku, yang paling dahulu berhak atas diriku, kubiarkan menderita dan sakit-sakitan, sedangkan ia membutuhkan aku.

Kewajibanku sebagai anak tidak boleh aku kurangi, tapi pun tidak kewajiban-kewajibanku terhadap diriku sendiri harus aku tunaikan, terutama sekali tidak kalau apabila perjuangan itu bukan saja berarti kebahagiaan sendiri, tapi pun berguna bagi yang lain-lain. Soalnya sekarang adalah memenuhi dua tugas besar yang bertentangan satu dengan yang lain, dan itu sedapat mungkin harus diserasikan. Pemecahan masalah ini ialah, bahwa untuk sementara ini aku membaktikan diri kepada ayahku...

Petikan Surat Kartini kepada Estelle Zeehandelaar tanggal 15 Agustus 1902

Ada begitu banyak pembicaraan, penulisan, tentang semangat kemajuan keluarga kami, tentang semangat kemajuan keluarga Tjondronegoro. Lama sudah kakekku meningal dunia, tetapi namanya tinggal hidup, disebut dan dihormati dengan simpati oleh mereka yang pernah mengenalnya ataupun mendengar tentangnya. Kakekkulah yang mula-mula sekali memberikan putra-putra serta putri-putrinya pendidikan Barat. Kakekku adalah pelopor, adalah sungguh-sungguh seorang yang mulia.

Kami berhak untuk tidak menjadi bodoh.

.....

Ayah mendapatkan banyak simpati baik dari dunia Eropa maupun Pribumi.

Memang Ayah tak mempunyai seorang pun Bupati untuk jadi menantunya, tapi Ayah mempunyai anak-anaknya, pria dan wanita, yang dibentuknya menjadi makhluk yang berpikir. Itulah jasa, yang menyebabkan Ayah mendapatkan banyak penghormatan dan simpati. Dan penghargaan serta simpati golongan berpikiran waras ini tidak akan menjadi berkurang, sebaliknya bakal bertambah, pabila Ayah memahkotai jasanya itu dengan mengizinkan kami mengisi kebutuhan batin kami, yang Ayah sendiri telah membangunkannya.

Blog Archive