Daftar Isi

KUMPULAN PETIKAN TULISAN KARTINI

Dalam tulisan-tulisannya untuk publikasi, Kartini menggunakan gaya bahasa yang sangat berbeda dengan gaya bahasa yang biasa ia gunakan dalam surat-suratnya.

Beberapa dari contoh kutipan yang representatif adalah sebagai berikut:

Ayohlah, nona muda, jangan nampak begitu sedih, mentari secumil itu benar-benar takkan ubah warm kulitmu jadi semacam kulit Pribumi! Dan apa pula gunanya payung kecil genit yang kau bawa-bawa itu? Tak perlu lebih lama menyelidik dengan pandangmu, perjalanan akan segera berakhir, dan apa yang bakal nona kunjungi, bakal Iupakan bentong merah bekas ciuman mentari nakal pada tengkuk-putihmu.
........
Sebuah pasukan kehormatan terdiri atas kanak-kanak setengah dan telanjang bulat siap menyambut kedatangan kalian di seberang sana. Brr, kucing-kucing dekil itu, -apa mereka habis mandi dalam lumpur?

Kucing-kucing dekil itu, para tamu, adalah seniman-seniman mendatang! Lihat, tanah bekas kaki mereka telah mengandung bukti-bukti bakat mereka. Apa kalian katakan tentang burung-burung, naga, yang mereka guratkan di atas tanah keras dengan batu tajam itu? -dan tentang wayang yang dilukiskan dengan arang kayu pada dinding-dinding kayu gardu?

Yang para tamu asing tatap dengan mulut melompong serta mata melotot, itulah karya jari dekil monyet-monyet itu.
........
"Ah-ah, dari mana kau datangkan keindahan ini?" dengan bersemangat seorang pengagum bertanya.

Orang sederhana, yang menggelesot dina di atas tanah, mengangkat pandang hormatnya sekejap dan menjawab sederhana: "Dari hati hamba, bendoro!"
(Fragmen dari: Van een Vergeten Uithoekje)

Bukan main takjub kami waktu gapura kehormatan bermandikan cahaya di Hotel Pavilyun itu nampak: pandangan itu membuat kami teringat pada dongengan-dongengan ajaib Scherazade

Suara riang di dalam kereta itu terdiam. Dengan mata terbuka lebar kami memandang ke depan, di mana Harmonie itu muncul, berkilau dan menyala, laksana membubung dari lautan api. Sebuah istana dongengan "Seribu Satu Malam!"

"Ada apa?" tanya Ayah dengan kuatirnya. "Kalian jadi begitu pendiam, itu bukanlah semestinya. Tak suka kalian di sini?"

"Suka sekali, Ayah!" terdengar hampir berbareng dari sesaudari itu dengan wajah tertengadah kepadanya, pasang-pasang mata yang bersinar-sinar menatapnya, bicara kepadanya lebih banyak daripada seribu kata bersemangat. Ayah tersenyum, Ayah merasa puas, ia nikmati ketakjuban putri-putrinya.

"Terimakasih, Ayah, terimakasih!" mendetak jantung berdebur di dalam dada ini. Betapa baiknya hatimu, kekasih, Ayah tercinta, betapa cintanya kau kepada kami! Bagimu tiadalah yang terlalu banyak untuk menerbitkan seri-ria pada wajah putri-putrimu!

Kau telah putuskan hubungan dengan banyak hal yang terbiasa bagimu, karena kau tahu, dengan itu kau dapat bahagiakan kami. Kau telah putuskan hubungan dengan tradisi berabad, yang memerintahkan gadis-gadis tetap berkurung di rumah, tercerai sama sekali dari dunia luar.

Ayah, betapa bahagianya kami kau buat!

Bukan karena kami gila akan keluar rumah untuk berpesta, o tidak, tidak! Tapi ini sungguh menakjubkan, begitu senangnya boleh mengembara di atas buminya Tuhan yang bebas-merdeka, melihat lingkungan-lingkungan lain yang bukan balik tembok-tembok kabupaten yang tebal lagi tinggi, menghirup udara lain daripada udara pengap yang bagaimanapun luasnya, membuat kami tercekik karenanya, udara sewaktu kami sama sekali belum boleh keluar.

Dan sekarang kau bawa kami kemari, Ayah....

Nenek moyang kami mungkin pada memunggungi kami dalam kuburnya, kalau mereka tahu di mana kami berada pada detik ini. Dan bukan leluhur kami saja....

Di sini kami berdiri di ambang subuh jaman baru, jaman yang akan membawakan terang ke seluruh Jawa. Dan sekali jaman itu terbit, akan lebih banyak dituntut perjuangan, penderitaan, berperang dan memenangkannya; mula-rnua sekali adalah melawan Sang Baginda Prasangka, kemudian Sri Ratu Kepicikan dan Kekerdilan, putri-putri, yang dipuja dan dituruti oleh sebagian terbesar penduduk Jawa.

Di matanya kami sekarang telah lakukan dosa besar! Gadis-gadis Jawa di dalam pesta-dansa, sebuah pesta gala pula dan di tempat lain lagi malah, di mana ratusan orang asing hadir! Ada kami lihat Adipati-Adipati Sri Baginda Kepicikan, Kekerdilan dan Prasangka telah menggigil sakit hati karena terhina undang-undangnya yang keramat itu tersentuh....

Kami akan dihadapkan ke pengadilan' -Ngomonglah! Ngomonglah kalian, orang-orang berjiwa besar, kalian boleh perbuat apa saja sesuai dengan kata hati kalian.... Tapi sekarang kami ingin juga menikmati sepenuhnya segala yang ada di sekeliling kami....

Laksana mimpi! Ke mana pun pandang ditebarkan, tertatap juga semburan cahaya, hijau dedaunan dan bunga-bungaan, kilau emas dan perak, satin dan sutra, awan-awan yang ternyata tidak lain daripada renda-renda dan brokat, wajah-wajah yang riang-ceria.

Aku melihat, melihat, dan pikiranku melayang jauh dari Semarang yang sedang berpesta-pora, melewati laut biru ke pantai Afrika Selatan, medan perang yang mendarah, melayang ke lembah kesengsaraan yang paling hebat penuh duka dan derita, penderitaan yang tak terhingga.... yang mati, yang luka, janda, piatu, korban ketamakan Inggris yang tak kenal batas.
(Fragmen dari: Een Gouverneur-Generaalsdag)

....Waktu kami telah sampai pada suatu jarak dari kapal perang, dari geladak terdengar sorak riuh: "Hura!" yang berulang sekali lagi dan sekali lagi. Di jembatan telah berdiri semua opsir H. Ms. Borneo dengan tangan melambai-lambai; pet-pet berayun-ayun dan setangan-setangan melambai-lambai sebagai layar di udara. Salam perpisahan yang meriah dan tulus disambut dengan tulus pula oleh pasasir di dalam perahu dayung putih kecil, yang tambah lama tambah menjauh dari istana-samudera itu, dan akhirnya lenyap di balik tikungan dekat pantai. Di hadapan kami berluncuran riak-riak ombak terlanggar perahu-perahu nelayan dengan penumpang-penumpang tunggalnya. Kami lihat betapa pendayung itu berjuang sekuat tenaganya, dan dalam waktu singkat orang-orang itu dengan hormatnya telah menyusul perahu pendahulu. "Wanita!" terdengar suara heran dan sekaligus juga kagum dari mulut mereka masing-masing.

"Itulah emansipasi!" Nyonya Aveling tertawa riang, "Sejauh itu kami memang belum lagi, bukan?"

Betapa riangnya para matros itu! Tapi si wanita yang tangkas itu lain lagi yang dipikirkannya sama sekali ia tidak suka bahwa ia dijemput oleh orang-orang Belanda, yang menyebabkan ia lari tunggang-langgang. Punggung tipis bersegi-segi itu bolehlah kami kagumi, wajahnya yang tersembul di bawah capingnya tetap terpaling dari kami dan baru setelah biduk kami meluncur, bergeraklah tubuh kecil biru membungkuk di dalam perahu-usangnya dan kembali mengecibakkan dayungnya di air.

"Tugas selesai, memuaskan, kelasi, cerkas dayungannya!" komandan itu menambahkan dengan ramahnya kepada para kelasi waktu kami kembali mendarat. Wajah-wajah yang putih membera, dengan titik-titik keringat bercucuran mengkilau itu berseri puas, sedang mata mereka yang biru memancar itu bercerita kepada kami, bahwa hanya dengan sepatah kata pujian dari letnan kolonel, menyebabkan mereka lupa akan galah-galah dayung berat yang menyebabkan mereka mandi keringat.

Kami harus menunggu tuan-tuan yang biduknya kandas di dangkalan lumpur; sementara itu kami berjalan-jalan sejenak di bawah pepohonan juar rindang di sepanjang jalan dan berpapasan dengan sekelompok pelaut yang ramai, yang sepanjang pagi itu mengembarai kota dan sekarang harus kembali ke rumah-apung mereka di atas laut yang hijau.

"Ai! seorang perempuan bersunting bunga teratai!" tiba-tiba terdengar suara girang dan takjub sekaligus, di atas riuh-rendah suara-suara lain. Dan dengan mata kagum, seorang bintara di belakang seseorang, dengan cepatnya mengawasi kami. Kami pun terbahak-bahak mentertawakannya!...

Sasaran kekagumannya bukanlah seorang wanita Jawa yang muda lagi cantik serta bersuntingkan kembang cempaka, layu pada kondenya!

Tuan-tuan itu kini telah mendarat dan sebentar kemudian kendaraan kami pun melaju pergi.

"Selamat jalan pelaut! Selamat jalan! Mimpilah tentang wanita bersuntingkan bunga teratai! Semoga kalian tersasar kambali di pojokan ini membawakan kesibukan dan kegirangan, ke darat sini di mana di baliknya sana tiada daratan lagi!
(Fragmen dari: Een Oorlogschip op Ree)

Kembali nampak olehku pesisir indah yang secara khayali dipancari caya perak rembulan kuning pucat dan bermilyar kali terpantul pada permukaan segara yang beriak selalu: permainan caya perak dan emas abadi!

Kembali terdengar olehku bisikan hijau daun kelapa yang menggelepar, seakan melambai-lambai luwes dengan bulu-bulu perak raksasa, membelai nikmat pada pipi serta berdesis pada kuping kami.

Dengan merdunya bisik desah dedaunan berpadu dengan derai pelahan riak laut kecil-kecil gemerlapan, dengan licahnya memecah diri di pantai cemerlang, putih bersih.

Itulah impian keindahan! impian bahagia! Dan di dalam lingkungan khayali pantai bermandikan caya perak, laut dengan emas dan perak cair ini, langit yang biru gemilang ditebari beberapa butir bintang mintang kemilauan, pepohonan palma gemerlapan dengan caya perak melambai-lambai, puputan angin berdesir dan derai ombak lembut, duduklah kami bersama dengan harta benda tidak ternilai harganya yang baru kami temukan di tengah-tengah kami, sambil diam-diam menikmati dengan gairat makin meningkatnya suara bermelodi, yang berkisah tentang keindahan sebuah negeri asing jauh, sangat jauh, di seberang samudera sana, di seberang tanpa Batas....
(Fragmen dari: Eenige Uurtjes Uit een Meisjesleven. Sentimenteele Herinneringen Eener Oude Vrijster, 1901)

Tulisan Kartini sewaktu berumur 16 tahun, kemudian diterbitkan dalam BTLV,

Lilin-lilin pun dinyalakan; dua orang, masing-masing berangkat dari jurusan yang bertentangan, dan tiga kali berjalan mengelilingi kedua mempelai tersebut. Pada akhir jalan keliling tersebut mereka sodorkan lilin itu pada kedua mempelai, yang pada saat itu juga harus memadamkannya. Lilin siapa yang padam dahulu, dialah yang akan jadi pengikut dalam kehidupan perkawinan itu.
(Fragmen dari: Het Huwelijk bij de Kodja's)

Sajak yang ditulis Kartini dengan nama samaran Jawa

Betapa si anak manusia,
Betapa asing mula tadinya,
Cuma sekilas, hati ikrar setia,
tinggal menetap, tunggal dan esa.

Betapa hati di dada,
Tersayat dengar suara,
Betapa asing mula tadinya,
Lama, lama gaungi diri laksana doa.

Betapa ini jiwa,
Dalam sorak-sorai melanglang,
Jantung pun gelegak berdenyar,
Bila itu mata sepasang,
Ramah pandang menatap,
Jabat tangan hangat diulurkan!

Tahu kau, samudra biru,
Menderai dari pantai ke pantai?
Di mana, bisikkan padaku,
Di mana, mujizat bersemai?

Bayu tangkas, katakan padaku,
Pendatang dari daerah-daerah tanpa nama,
Siapa gerangan dia, pendatang tanpa dipinta,
Mengikat hati abadi begini?

Oi! bisikkan padaku, surya bercaya kencana
Sumber sinar, sumber panas kuasa,
Apa gerangan , mujizat agung,
Nikmatkan hati bahagia begini,
Lembutkan, lunakkan derita,
Yang slalu datang dengan manjanya?

Sepancar surya, habis tembusi dedaunan,
Jatuh di laut pasang mengimbak-imbak,
Terang sekarang, gemilang dunia,
Dalam paduan caya kencana surya.

Permainan caya dan warna,
Pameran di tentang mata mesra,
Dan hati kecil yang terpesona,
Hembuskan doa-syukur tulus-rela.

Mujizat ternyata tiga!
Di hamparan mutiara cair gemerlapan,
Dipahatkan aksara padanya oleh surya:
Cinta, Persahabatan, Simpati.

Cinta, Persahabatan, Simpati,
Berdesau ombak datang bisikkan kembali,
Berdendang baju dan pohon,
Pada si anak manusia menganga bertanya.

Manis membelai terdengar,
Nyanyi gaib ombak dan bayu,
"Seluruh, seluruh dunia,
Jiwa seia bakal bersua!"

Tiada tenaga kuasa lerai,
Apapun, pangkat, martabat,
Tiada peduli segala,
Tangan pun berjabatan!

Dan bila jiwa telah seia,
Retak tidak, tali abadi,
Mengikat erat, Setia arungi segala,
Rasa, Jarak dan Masa.

Tunggal dalam suka, satu dalam duka,
Seluruh hidup gagah ditempuh!
0i, bahagia dia si penemu jiwa seia,
Yang mahakudus dia suntingkan.

Blog Archive